
POLITIK PARTAI DEMOKRAT:
“ANTARA BONUM COMMUNE DAN BELLUM OMNIUM CONTRA OMNES”
Oleh: Dr. Thomas Tokan
Pureklolon
(Dosen Ilmu Politik, Universitas
Pelita Harapan Jakarta)
OPINI- Prahara politik yang kian kencang membela langit birunya sebuah perpolitikan menjadi
dua garis demarkasi yang dapat berbanding lurus antara paralel horisontal
jalannya, atau bertikai secara vertikal jadi palang penghinaan dan cercaan
publik penyaksi politik di sebuah negeri yang lagi asyik menjadi mercusuar
pembangunan politik dunia, baik secara suprastruktur politik atau infrastruktur
politik.
Prahara politik partai demokrat kalau diteropong
dengan kacamata jarak jauh ( political
observer ) maka akan mendapatkan objek politik yang mudah terbaca secara akademis,
terang benderang, tembus pandang lintas batas ruang dan juga waktu bahwa siapa
membajak siapa? Kalau diteropong dengan kacamata jarak dekat (political life style) maka tidak
seperti itu bacaannya secara dinamis (baca: lenggang) karena berhadapan
dengan negativitas politik di mana keseluruhan objek politik sudah tersedia
dengan sendirinya di depan mata bahkan segenap objek politik pun telah terberi,
dan juga telah ada status quessionisnya
masing-masing dengan berbagai kecenderungan, mana yang paling pas menjadi fokus
dalam aktivitas peneropongan politik. Dengan kata lain pada bagian ini,
sederhanya adalah by design.
Prahara partai demokrat dalam korelasinya dengan
aktivitas politiknya yang jadi trendi topik sekarang ini yakni Kongres Luar
Biasa (KLB) dari The Hill Hotel and Resort, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara menjadi bahan permenungan politik yang manarik
untuk ditelaah dalam dua tegangan politik yakni kebaikan bersama ( bonum commune ) atau menjadi sebuah
monster politik baru yang mencekam banyak orang yakni perang semua melawan
semua ( bellum omnium contra omnes).
Dalam kedua ketegangan ini terjadilah kalkulasi politik yang terjadi secara beramai-ramai
( baca: ramai-ramai menguji kecakapannya) di dalam internal partai atau
eksternal partai, atau bisa terjadi secara sadar adanya kolaborasi politik baru
antara pihak internal partai bersama pihak eksternal partai yang dapat membawa
perhelatan yang berjangka panjang. Problem politik seperti ini sebetulnya sudah
menjadi sebuah keterampilan politik yang hadir sejak abad pertengahan pada masa
jayanya ( baca: puncak abad pertengahan ) di mana semua orang diperlakukan
secara baik (etis) yang terlihat di
mata publik, tetapi sebetulnya tidak semestinya demikian. Politik abad
pertengahan ( 1225-1274 ) ketika itu selalu saja terjadi pertukaran (mutual axchange) kepentingan yang
rileks, berjalan lancar, dan tetap bertahan menjadi permanen dalam sistem nilai
di tengah pergeseran kepentingan massa.
Politik Kolaboratif
Posisi partai demokrat tidak dalam satu gerbong dengan
rejin yang sedang berjalan. Politik kolaboratif yang dibangun dengan dasar dan
fundasi apa pun kekuatannya, selalu saja ada titik kerapuhan yang tak bisa
dielahkan karena absennya kekuasaan yang sedang terjadi dengan regim yang
sedang berkuasa. Konsekuensinya, proses politik yang ditempuh atas
terbangunnya sebuah kolaboratif politik
tentu saja melibatkan banyak ramuan materi kepentingan yang selalu saja menjadi
arena perjuangan; baik itu bersifat umum untuk kepentingan negara yang selalu
mengemuka atau secara parsial yang selalu menonjolkan kehebatan dan kepentingan
ego sektoral institusi yang bersifat sementara, dan tentu terus berubah menjadi
ego politik yang terus juga terpusat pada sosok tujuan parsial yang mau
digadang adalah kekuasaan politik itu sendiri.
Antara ‘partai demokrat’ (baca: KLB) dan pak Jendral Moeldoko terjadi politik
kolaboratif dalam arti bersatu dalam paduan simphoni politik perjalananan dari
istana menuju politik kolaboratif di luar istana. Pertanyaan yang segera harus
menyusul adalah kelembagaan politik formal yang ada dalam kepemilikan pak
Jenderal Moeldoko ( baca: istana kepresidenan ), turut serta atau dibawa serta
dalam politik perjalanan keluar istana dalam kekuasaan politik formal atau
hanya memberi komando dari dalam yang ‘hanya sekedar’, ibarat auto pilotnya pesawat terbang yang lagi
melaju pada titik koordinat di level yang sangat nyaman. Pertanyaan berikut
yang segera menjadi kembarannya adalah keterhandalan politik seperti apa yang
dilihat sebagai kehebatan sebuah kekuasaan pak Jendral Moeldoko dalam partai
demokrat versi KLB?
KLB dan Prahara Politik Partai Demokrat
Hebatnya sebuah strategi politik kekuasaan dari partai
demokrat (baca: KLB) bisa melampaui setiap garis politik yang terus merambah
perlahan dan bisa menyeruak masuk ke
rana perilaku politik (political action) ke dalam partai
demokrat sendiri. Perilaku politik semacam ini ibarat sebilah pisau yang bukan saja disuarakan oleh para akedemisi dalam
sistem politik sebagai pisau analisa kebajikan atas sebuah nilai politik, tapi berubah
total menjadi fakta politik yang hadir sebagai
monster politik yag mencekam dan membabat habis siapa pun dan apapun yang ada
di hadapan mata. Betul, bahwa politik itu, ‘pagi tahu, sore tempe,’ selalu
berubah-ubah dan tak ada yang permanen dalam pertemanan dan yang ada adalah
hanya satu yakni kepentingan.
Kembali pada KLB dan strategi politiknya. Bahwa, KLB
sedang berada dalam sebuah takhtik politik strategis ala Hang Fei Zi, dengan
memperlihatkan tesis dasarnya bahwa keruntuhan sebuah kerajaan pada umumnya
disebabkan oleh dua faktor fundamental yang bersifat inheren yakni pengkinatan
orang dekat atau kebobrokan pemerintahan ( baca: partai politik) itu sendiri. Dalam
teori tersebut disinyalir bahwa infiltrasi dari pihak luar hanya bisa berhasil
bila adanya dukungan pengkhianat dari dalam, yang biasanya justru adalah
orang-orang dekat dari penguasa itu sendiri (lihat, Dr. Mochtar Riady, Filsafat
Kuno dan Manajemen Modern, 2008:83). Konsekuensi politiknya adalah peningkatan
pengawasan dan kewaspadaan terhadap keamanan internal partai politik merupakan
sebuah tugas utama dan menjadi sebab langsung dari sebuah pengawasan yang maha
penting dalam perilaku politik (political
action). Dengan demikian legitimasi partai dalam hal ini parta demokrat, sepatutnya
sedang terpenjara dalam dualisme kekuasaan antara kebaikan bersama (bonum commune) dan perang semua melawan
semua ( bellum omnium contra omnes ).
Prahara politik partai demokrat menjadi sebuah fakta publik
yang sedang dipertontonkan oleh partai demokrat sendiri bahwa telah terjadi KLB
di Sumatera Selatan dan hasilnya seperti itu. Selanjudnya, KLB dengan segala
keterhandalannya dalam konteks politik bisa mengklaim bahwa eksistensi KLB paling reformis atau
paling demokratis, atau paling handal dalam perilaku politik, atau apalah
sebutan politik lainnya yang memadai dalam perpolitikan dewasa ini. Argumentasi
politik utamanya dari KLB yakni KLB telah keluar dari tekanan yang mencekam
atas kepemimpinan ketua umumnya. Sebuah pertanyaan: Akankah partai demokrat
versi KLB berjalan mulus seperti lazimnya permainan politik dengan pisau
analisisnya yang terus tajam untuk merambah percaturan politik selanjudnya,
atau sebaliknya akan tumpul tidak berdaya dan kehilangan daya asanya? Atau,
apakah hanya sekedar fatamorgana politik yang terlihat asyik mempertontokan
sebuah demokrasi yang unik yang terdisain siapa pemenangnya yang sedang menanti
di ujung perhelatan ini, yang ternyata jauh dari sosok politik sesungguhnya
karena hal ini hanya sebagai jargon politik dan kerlap-kerlip gegab gempita
politik partai demokrat? Kalau memang
demikian, maka sungguh ironis para pemain politiknya yang gemar mementaskan
pertunjukan ( political game ) menarik tapi absen terhadap penonton yang
berkualitas ( baca: stake holders dan
elit politik yang handal ) yang turut
menyaksikan di negeri ini. Argumentasi politik terhandal dalam permainan
politik ini memang menarik dan unik ala internal partai demokrat sendiri, dan bukan
berasal dari rumus keterhandalam dalam berpolitik yang telah teruji publik dalam
ilmu politik ( political scinces ) yakni
karakter politik, kompetensi politik, komitmen politik, konsistensi politik dan
kekompakkan politik. Referensi politik seperti inilah, kiranya menjadi
catatan utama dan awasan politik yang sangat bermakna dan bernilai untuk sebuah
tujuan politik yang mau dicapai demi kebaikan bersama yang bakal terus
memposisikan diri sebagai kebaikan tertinggi ( summum bonum ) dalam penanaman politik nilai yang terus bertahan
sebagai sebuah sistem politik.
<!--StartFragment--> <!--EndFragment-->
Praise the Lord.